Repost dari
http://www.bersamadakwah.com/2012/07/puasa-yang-berkualitas.html
Saudara-saudaraku yang dirahmati Allah,
Puasa Ramadhan merupakan ibadah istimewa yang akan dinilai langsung oleh
Allah sehingga ia tidak dibatasi oleh pelipatgandaan pahala 10 sampai
700 kali. Rasulullah SAW:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى
سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ
فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ
Setiap amal anak Adam dilipatgandakan;
sati kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa sampai tujuh
ratus kali. Allah Azza wa Jalla berfirman, “Kecuali puasa, sesungguhnya
puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang membalasnya…” (HR. Muslim, An-Nasai, Ad-Darimi, dan Al-Baihaqi)
Nilai puasa di sisi Allah, dengan demikian, akan sangat bergantung pada
kualitasnya. Semakin ia berkualitas, semakin tinggi nilainya di sisi
Allah. Sebaliknya, puasa yang kualitasnya sekedar menahan lapar dan
haus, ia tidak bernilai apa-apa di sisi Allah. Rasulullah SAW bersabda:
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوعُ
Betapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa baginya kecuali rasa lapar. (HR. An-Nasai dan Ibnu Majah)
Melakukan amal dengan optimal dan berusaha mendapatkan kualitas
tertinggi adalah sebuah keharusan. Inilah mengapa Dr. Musthafa Dieb
Al-Bugho dan Muhyidin Mistu dalam
Al-Wafi saat menjelaskan hadits :
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ
Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku ihsan dalam segala hal (HR. Muslim)
Beliau berdua mengatakan: Hadits ini merupakan nash (dalil) yang
menunjukkan keharusan berlaku ihsan. Yaitu dengan melakukan suatu
perbuatan dengan baik dan maksimal.
Maka, begitupun dengan puasa. Marilah kita tunaikan puasa kita dengan
sebaik-baiknya sehingga ia benar-benar menjadi puasa yang berkualitas.
Lalu apa saja kriteria puasa yang berkualitas itu?
Ikhlas
Ikhwani fillah rahimakumullah,
Inilah penentu awal kualitas puasa kita; keikhlasan. Tidak hanya puasa,
bahkan seluruh amal akan ditentukan pertama kali oleh standar ini. Jika
ia melakukannya ikhlas karena Allah maka amalnya menuju Allah
(berpeluang diterima Allah), tetapi jika ia melakukannya karena selain
Allah, maka amal itu tidak memiliki peluang sama sekali untuk menjadi
bernilai di sisi Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ ، وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى
Sesungguhnya segala amal tergantung pada niatnya dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang ia niatkan. (HR. Bukhari dan Muslim)
Demikian juga dengan ampunan yang dijanjikan Allah bagi orang yang
berpuasa. Tidak serta merta ampunan ini akan didapatkan semua orang.
Hanya mereka yang ikhlas saja yang berhak mendapatkan janji ini dan
membuktikannya di hadapan Allah SWT kelak di akhirat.
من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap perhitungan (pahala) akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (Muttafaq ‘alaih)
Hadits di atas sekaligus menjadi dalil bahwa mengharapkan pahala dari
Allah adalah termasuk ikhlas. Ini berbeda dengan ungkapan sufi yang
ekstrim mengatakan tentang keikhlasan:
Ya Allah,
Jika aku beribadah kepada-Mu karena mengharap surga
Haramkanlah aku memasukinya
Jika aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka
Campakkanlah aku ke dalamnya
Dan, alhamdulillah, menjaga keikhlasan puasa itu lebih mudah dari pada
ibadah lain, karena puasa adalah amalan batin. Maka Imam Al-Ghazali
menjelaskan dalam
Ihya’ Ulumiddin:
“Puasa itu sendiri rahasia yang padanya tidak ada amal yang disaksikan.
Seluruh amal ketaatan itu disaksikan dan dilihat oleh makhluk sedangkan
puasa hanya dilihat oleh Allah Azza wa Jalla, karena puasa itu amal
batin dengan semata-mata kesabaran.”
Meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa
Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah,
Tentu saja untuk menjadi berkualitas, puasa itu harus sah. Artinya, kita harus meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa.
Sayyid Sabiq dalam
Fiqih Sunnah menjelaskan bahwa hal-hal yang membatalkan puasa itu dibagi menjadi dua;
Pertama, hal-hal yang membatalkan puasa dan wajib qadha’
a. Makan atau minum dengan sengaja. Jika seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, itu tidak membatalkan puasanya.
مَنْ نَسِىَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
Barangsiapa yang lupa, padahal ia
berpuasa, lalu ia makan atau minum, hendaknya ia meneruskan puasanya.
Karena ia diberi makan dan minum oleh Allah. (HR. Jamaah)
b. Muntah dengan sengaja
مَنْ ذَرَعَهُ الْقَىْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَمَنِ اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِ
Barangsiapa didesak muntah, ia tidak wajib mengqadha, tetapi siapa yang menyengaja muntah hendaklah ia mengqadha. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Daruquthni, dan Hakim)
c. Mengeluarkan sperma, baik karena mencium istrinya atau hal lain di
luar bersetubuh dan mimpi. Jika bersetubuh ia terkena kafarat, jika
karena mimpi maka tidak mempengaruhi puasanya.
d. Meniatkan berbuka. Karena niat merupakan rukun puasa, maka niat berbuka berarti membatalkan puasanya.
Kedua, hal-hal yang membatalkan puasa dan wajib qadha’ dan kafarat
Mengenai tindakan membatalkan puasa dan karenanya wajib qadha berikut
kafarat, menurut jumhur ulama hanyalah bersenggama dan tidak ada yang
lain. Kafaratnya adalah memerdekakan budak, jika tidak mampu maka
berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu memberikan makan
kepada 60 orang miskin.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ
اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ هَلَكْتُ . فَقَالَ « وَمَا ذَاكَ »
. قَالَ وَقَعْتُ بِأَهْلِى فِى رَمَضَانَ . قَالَ « تَجِدُ رَقَبَةً » .
قَالَ لاَ . قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ
مُتَتَابِعَيْنِ » . قَالَ لاَ . قَالَ « فَتَسْتَطِيعُ أَنْ تُطْعِمَ
سِتِّينَ مِسْكِينًا » . قَالَ لاَ . قَالَ فَجَاءَ رَجُلٌ مِنَ
الأَنْصَارِ بِعَرَقٍ - وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ - فِيهِ تَمْرٌ فَقَالَ «
اذْهَبْ بِهَذَا فَتَصَدَّقْ بِهِ » . قَالَ عَلَى أَحْوَجَ مِنَّا يَا
رَسُولَ اللَّهِ وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا
أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ مِنَّا . قَالَ « اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ »
Abu Hurairah berkata: Seorang
laki-laki datang mendapatkan Nabi SAW. Ia berkata, “Celaka aku, wahai
Rasulullah!” Nabi SAW bertanya, “Apa yang mencelakakan itu?” “Aku
menyetubuhi istriku pada bulan Ramadhan.” Maka tanya Nabi SAW “Adakah
padamu sesuatu untuk memerdekakan budak?” “Tidak” ujarnya. Nabi bertanya
lagi, “Sanggupkah engkau berpuasa dua bulan terus menerus?” “Tidak”,
ujarynya. Nabi bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki makanan untuk
diberikan kepada enam puluh orang miskin?” “Tidak” ujarnya. Laki-laki
itu pun duduk, kemudian dibawa orang kepada Nabi satu bakul besar berisi
kurma. “Nah, sedekahkanlah ini” titah Nabi. “Apakah kepada orang yang
lebih miskin dari pada kami?” Tanya laki-laki itu. “Karena di daerah
yang terletak diantara tanah yang berbatu-batu hitam itu, tidak ada
suatu keluarga yang lebih membutuhkannya dari pada kami” Maka Nabi pun
tertawa hingga geraham beliau terlihat lalu berkata, “Pergilah,
berikanlah kepada keluargamu.” (HR. Jamaah)
Meninggalkan hal-hal yang membuat puasa sia-sia
Saudara-saudaraku yang dirahmati Allah,
Ikhlas serta meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa saja tidak
cukup untuk membuat puasa kita berkualitas. Hal lain yang perlu kita
lakukan adalah meninggalkan hal-hal yang membuat puasa sia-sia.
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوعُ
Betapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa baginya kecuali rasa lapar. (HR. An-Nasai dan Ibnu Majah)
Yaitu dengan menjauhi perkara-perkara yang telah diharamkan oleh Allah
SWT. Diantaranya adalah menjaga emosi kita agar tidak marah seperti apa
yang disabdakan oleh Rasulullah SAW:
الصِّيَامُ جُنَّةٌ ، فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ ، وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّى صَائِمٌ
Puasa adalah perisai, maka barang
siapa sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak keras, jika
seseorang mencela atau mengajaknya bertengkar hendaklah dia mengatakan:
aku sedang berpuasa. (Muttafaq ’alaih)
Begitupun dengan perkataan dan perbuatan dusta, bisa membuat puasa menjadi sia-sia dan karenanya harus dijauhi.
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barangsiapa tidak meninggalkan
perkataan palsu dan pengamalannya, maka Allah tidak mempunyai keperluan
untuk meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya) (HR. Bukhari)
Meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat
Sering kita jumpai, ada orang yang berpuasa lalu mengisi siang harinya
dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Dengan alasan agar lupa rasa lapar
dan haus selama puasa mereka seharian di depan televisi, memperbanyak
main game, dan sebagainya. Hal-hal seperti ini hendaknya ditinggalkan
agar puasa kita benar-benar berkualitas.
من حسن إسلام المرء تركه مالا يعنيه
Diantara tanda sempurnanya Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Mempuasakan seluruh organ tubuh, pikiran, dan hati
Inilah yang diistilahkan puasa khusus oleh Imam Ghazali dalam
Ihya’ Ulumiddin dan ditegaskan oleh Ibnu Qudamah dalam
Mukhtashar Minhajul Qasidin.
Pertama, mempuasakan mata dengan menahannya dari pandangan kepada sesuatu yang tercela dan dibenci syariat serta melalaikan Allah SWT.
النظرة سهم من سهام إبليس مسمومة فمن تركها من خوف الله أثابه جل و عز إيمانا يجد حلاوته في قلبه
Pandangan itu salah satu anak panah
Iblis yang berbisa. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada
Allah, maka Allah Azza wa Jalla memberinya keimanan yang manisnya
didapati dalam hatinya (HR. Hakim)
Kedua, mempuasakan lidah dengan
memeliharanya dari berbicara tanpa arah, dusta, menggunjing, mengumpat,
berkata buruk, berkata kasar, permusuhan dan mendzalimi orang lain.
الصِّيَامُ جُنَّةٌ ، فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ ، وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّى صَائِمٌ
Puasa adalah perisai, maka barang
siapa sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak keras, jika
seseorang mencela atau mengajaknya bertengkar hendaklah dia mengatakan:
aku sedang berpuasa. (Muttafaq a’alaih)
Ketiga, mempuasakan telinga
dari mendengarkan segala sesuatu yang haram dan makruh. Karena segala
sesuatu yang haram diucapkan adalah haram pula untuk didengarkan.
Bahkan, Allah SWT menyepadankan orang yang mencari pendengaran haram
dengan pemakan harta haram.
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan makanan haram. (QS. Al-Maidah : 42)
لَوْلَا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ
الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
Mengapa orang-orang alim mereka,
pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan
bohong dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang telah
mereka kerjakan. (QS. Al-Maidah : 63)
Keempat, mempuasakan tangan
dari mendzalimi orang lain, mengambil sesuatu yang bukan haknya, serta
melakukan perbuatan yang dilarang syariat.
Kelima, mempuasakan kaki dari berjalan ke arah yang diharamkan oleh Allah SWT.
Keenam, mempuasakan hati dari penyakit-penyakit ruhiyah seperti dengki, iri, marah, kecintaan pada dunia, dan sebagainya.
لاَ تَبَاغَضُوا ، وَلاَ تَحَاسَدُوا ، وَلاَ تَدَابَرُوا ، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
Janganlah kamu saling membenci, saling
memutushubungan, saling mendengki, dan saling bermusuhan. Jadilah
kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketujuh, menjaga pikiran dari membayangkan hal-hal yang disenangi
syahwat dan dibenci syariat, serta dari tipu daya dan pikiran
destruktif lainnya.
Memperbanyak amal shalih selama Ramadhan
Saudaraku yang dirahmati Allah,
Banyak orang terkecoh dengan memperbanyak tidur saat puasa karena
menilai itu sebagai ibadah. Memang ia lebih baik dibandingkan jika
melakukan hal-hal yang makruh atau haram. Akan tetapi, tentu lebih baik
lagi jika pada saat puasa kita memperbanyak amal shalih, mengisinya
dengan aktifitas-aktifitas positif yang bernilai ibadah di sisi Allah
SWT seperti memperbanyak tilawah Al-Qur’an, berdzikir kepada Allah,
shalat sunnah, tafakur, mengkaji ilmu-ilmu agama, memperbanyak infaq,
dan lain sebagainya.
Rasulullah dan para shahabatnya sangat mengerti tentang keutamaan
Ramadhan dan bagaimana memperbaiki kualitas puasa mereka. Karenanya
dalam kesempatan istimewa ini mereka memperbanyak amal shalih. Ibnu
Abbas menuturkan bagaimana peningkatan amal shalih Rasulullah SAW,
khususnya tilawah dan infaq sebagai berikut:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَجْوَدَ النَّاسِ ، وَكَانَ
أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِى رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ ، وَكَانَ
يَلْقَاهُ فِى كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ ،
فَلَرَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنَ
الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
Rasulullah SAW adalah orang yang
paling dermawan. Dan kedermawanannya memuncak pada bulan Ramadhan ketika
Jibril menemuinya. Jibril menemuinya setiap malam untuk tadarus
Al-Qur’an. Sungguh Rasulullah SAW lebih murah hati melakukan kebaikan
dari pada angin yang bertiup. (HR. Bukhari)
Ikhwani fillah rahimakumullah,
Demikianlah cara mewujudkan puasa yang berkualitas. Semoga kita termasuk
orang-orang yang dimudahkan Allah SWT sehingga bisa berpuasa dengan
kualitas seperti itu dan akhirnya mencapai derajat taqwa; mendapatkan
ampunan Allah SWT, meraih ridho dan dimasukkan ke dalam surga-Nya.
Wallaahu a’lam bish shawab