Oleh Muh. Azis
Suatu
hari, keponakan saya mengunggah video pendek perjalanannya pulang ke Palembang
di grup WhatsApp keluarga besar trah. Video berdurasi 20 detik itu
memperlihatkan saat mobil yang disopiri oleh anaknya yang sulung berjalan pelan
hendak memasuki kapal penyeberangan di pelabuhan Merak, Banten. Pulang ke Musi
Banyuasin, Palembang. Tempat tinggal Bulik (bibi) sekarang.
Spontan
saya komentari, “Moga-moga lain waktu bisa berkunjung ke Jalur, Muba,
Palembang. Mau sowan Bulik.”
Sebenarnya
saya berharap Bulik (bibi) bisa rawuh
ke acara Halal bi Halal keluarga besar di Ngampel, Srumbung kemarin. Sempat saya
tanyakan ke keponakan saya tadi soal kemungkinan itu. Dia menjawab sepertinya
kondisi Bulik sudah sangat kepayahan kalau harus menempuh perjalanan
jauh dari Palembang ke Pulau Jawa. Saya memaklumi karena beliau sudah sepuh.
Sebenarnya
secara pribadi, saya tidak punya kenangan khusus dan dalam dengan Bulik
karena dulu saat beliau bertransmigrasi ke Palembang, saya masih kecil. Tidak
ingat apa-apa tentang beliau.
Yang
saya tahu, sampai sekarang ini (2022) Bulik adalah satu-satunya anak Simbah yang
masih hidup. Delapan saudara kandungnya, termasuk ayah saya sudah meninggal.
Saya hanya mau sungkem Bulik. Sebagaimana saya sungkem kepada emak dulu.
Sangat emosional, sampai tak bisa berkata apa-apa. Hanya deraian air mata
bercucuran saat sungkem kepada Mak’e dan Pak’e. Ingat banyak salah yang telah saya
lakukan. Telah menyakiti hati tanpa sadar. Belum bisa membalas semua kebaikan
mereka.
Komentar
saya yang singkat atas video ponakan saya tadi mengundang komentar dari
saudara-saudara dan keponakan yang lain.
Siswanto,
salah satu putra Pakdhe saya pun berkomentar. “Kalau bisa halal bihalal
di Palembang. Rombongan sewa bis.”
“Bisa
mulai nabung, yuuk? “ kata mbak Wanti putrine Mas Nawawi Ngampel.
“Wah,
kalau bisa terlaksana pasti seru.” Kata saya
Siswanto
menanggapi,“Cari waktunya yang susah...karena kalau lebaran jalannya macet
parah”
“Ada
yang pernah rekreasi ke Palembang?” saya bertanya menyela. Maksud saya kalau
ada yang punya pengalaman rekreasi ke Palembang, mungkin bisa berbagi
pengalamannya. Biayanya berapa, jarak Muntilan ke Palembang berapa, berapa hari
perjalanan ke sana dan sebagainya.
“Biayanya
berapa? Muntilan - Palembang berapa hari?” tanya saya
Mbak
Elvi, putri sulungnya Mas Toha almarhum ikut menjawab pertanyaan itu, “Ana
kayanya pernah ke Palembang ketemu sama keluarga siapa lupa yang dekat bandara.”.
Ana yang dimaksud mbak Elvi adalah adiknya.
“Mas
Wahid mungkin”. Saya menjawab pertanyaan mbak Elvi. Beberapa waktu yang lalu,
mbak Ana Afida pernah berkunjung ke Palembang dan bertemu dengan Wahid putrane
Mas As’ari.
Ida,
putrine Lik Mislam menyahut, “Ya dibuat angan-angan dulu. Nanti kalau Allah berkehendak
semua akan mudah.”
“Ini
yang tau ya keluarga Palembang,” Siswanto menanggapi pertanyaan saya.
Ponakan
dari Palembang tadi menjawab, “Kathah (banyak),
Mas. Dari Palembangnya nian ke Jalur masih lama. Tapi kalau sudah di Palembang-nya
nanti dijemput sampai gubukku.”
Alhamdulillah,
kata-katanya ini sedikit menjawab rasa penasaran saya.
“Inikan
mobil pribadi. Kalau rombongan lebih murah karena ditanggung banyak orang” kata
Siswanto.
“Kalau
nyarter bus kayaknya Ngampel pernah pas ke Bantul. Mungkin ada kontak2nya bisa
tanya perhari berapa sewa busnya.” Ida menambahkan.
Mbak
Wanti menjawab, “Saudara di Sumatra banyak. Dari Simbah aja putranya ada 3. Di
Lampung, di Sijunjung, tapi udah almarhum semua. Tinggal putra-putrinya.”
Saya
menegaskan, “Itulah pentingnya silaturahmi. Saling berkunjung. Biar bisa saling
mengenal.”
“Coba
saja tanya-tanya dulu di bus pariwisata. Untuk carter saat lebaran pasti beda karena
ada tuslah lebaran.” Saran Ida
Siswanto
menanggapi, “Coba saja dihitung semua habis berapa terus nanti dilist
(didaftar) siapa saja yang mau ikut biar bisa direalisasikan.”
Sayangnya
pembicaraan saat itu berhenti. Sepertinya tidak banyak yang tertarik dengan ide
ujung (silaturrahmi) bareng-bareng ke Palembang ini. Saya bisa
memaklumi. Banyak pertimbangan saat orang mau mengadakan perjalanan jauh sampai
keluar kota bahkan keluar Pulau Jawa. Biaya, kondisi badan, waktu, kondisi di
perjalanan dan lain-lain.
Saya
pun jadi ikut mikir-mikir. Entah kapan rencana ini bisa terlaksana.
Brajan, pertengahan Syawal 1443
H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar