Sabtu, 10 Oktober 2020

T E L I T I


Sebuah penelitian tentang peribahasa Jepang (kotowaza) menjelaskan karakter orang Jepang yang tercermin dari makna-makna yang terkandung di dalam peribahasa tersebut. Setidaknya ada 6 karakter orang Jepang yang tercermin dalam peribahasa mereka. Salah satu karakter itu adalah teliti dan hati-hati. Kalau kita buka kamus, teliti itu berarti awas, jeli, akurat, cermat, saksama, tepat, hati-hati, waspada. Lawan katanya adalah  ceroboh atau kata orang Jawa, grusa-grusu

Eh, mengapa tiba-tiba ngomong soal karakter teliti dan hati-hati?

Soalnya ini berkaitan dengan pengalaman masa lalu saat jadi sangga kerja/panitia perkemahan saat aku di MAN satu. Aku telah berbuat ceroboh. Tidak teliti. Karena kecerobohanku ini telah mengecewakan dan merugikan banyak orang. Menjadi kenangan sedih yang tak terlupakan. Sungguh, aku sangat menyesal, kawan. Tapi dari peristiwa itu aku belajar untuk lebih teliti dan hati-hati saat bekerja.

Ceritanya, saat  itu (tahun 1990) aku ditunjuk jadi seksi pubdekdok (publikasi, dekorasi dan dokumentasi) pada Kemah Bakti Ambalan di Randugunting, Prambanan. Namanya keren tapi sebenarnya yang dominan ya bagian dokumentasi saja. Gampangnya, jadi tukang fotolah. Pemahaman saat itu, namanya dokumentasi ya hanya foto. Dokumentasi berupa tulisan (berita) belum terpikirkan. Apalagi dokumentasi video. Tidak ada anggaran. Dokumentasi video mahal biayanya.  

Saat itu, kamera foto masih pakai roll film negative yang isi satu roll ‘hanya’ bisa untuk 24 kali jepretan, ada yang 36 kali jepretan. Jadi, hanya kejadian yang betul-betul penting yang akan dipotret.  Bukan kamera digital seperti saat ini yang bisa suka-suka jepret sana, jepret sini.

Hari H perkemahan pun tiba. Sesuai tugasku, selama tiga hari itu beberapa acara penting aku ambil gambarnya. Sebelumnya, aku harus bisa memperkirakan acara penting mana saja yang akan aku potret nanti. Dari acara seremonial seperti upacara pembukaan dan penutupan sampai acara inti yang penuh kehebohan seperti lomba antar regu (sangga ya?), acara api unggun, susur jalan dan lain-lain. Tak ketinggalan foto bareng-bareng di hari terakhir sebelum balik pulang ke pangkalan.

 

Acara kemah selesai. 38 kali jepretan sudah aku pencet. Tombol untuk menggulung film pun aku tekan. Pulang. Besok hari akan aku bawa ke studio foto untuk dicetak. Ukuran 3 R dan berwarna.

 

Aku masuk ke studio dan roll film aku serahkan ke karyawan studio untuk ‘dicuci’ dan dicetak. Tarif biasa saja, bukan kilat. Artinya 3 hari baru selesai dicetak. Yah, maklum anggarannya memang hanya segitu.

 

Tiga hari berikutnya aku pergi ke studio lagi untuk mengambil hasil cetak foto itu. Sejak dari asrama MAPK, aku sudah membayangkan ekspresi teman-teman sesama sangga kerja dan peserta kemah bakti yang sudah aku abadikan dalam lembaran foto-foto itu. Wah, pasti seru…

Tapi…

Karyawan hanya menyerahkan film negatifnya (klise) saja yang berwarna coklat itu tanpa satu lembarpun foto yang dicetak. Aku sangat terkejut.

“Kok hanya klise saja, Mbak? Foto-fotonya mana?” tanyaku heran.

“Ini klisenya kosong, Mas. Nggak ada foto di dalamnya,“

“Astaghfirullahal ‘adhiim..La haula wa la quwwata illa billah,” Lirih aku berucap.

“Kok bisa begitu, Mbak?” Aku masih tak habis pikir. Bagaimana aku harus menjelaskan hal ini pada teman-teman sangga kerja.

Aku terawang roll film negatif itu di bawah lampu studio memang kosong, tidak ada foto orang-orang yang kemarin sudah aku potret.

Ya Allah…

Ternyata roll film negatif itu tidak nyangkut di pengait yang berfungsi untuk menarik keluar dari wadah roll film itu sehingga ia tidak ikut berputar saat tombol putar digeser-geser ke kanan. Berarti roll film yang aku serahkan ke studio itu untuk ‘dicuci’ dan dicetak itu sama saja belum dipakai untuk memotret. Itu terlihat dari hasil ‘cuci’ film yang berwarna coklat itu. Bukan hitam. Makanya fotonya kosong. Jadi, tidak ada dokumentasi foto yang dari sangga kerja. Aku tidak tahu, apakah seksi lain atau dari peserta ada yang membawa kamera sendiri atau tidak.

 

Semua sudah terjadi. Hanya yang sangat aku sesali adalah kenapa saat memasang roll film di kamera itu tidak teliti. Semestinya dicek lagi, sudah nyangkut di pengait atau belum. Lebih baik mengorbankan satu atau dua jepretan (foto jadi hangus) dengan cara membuka penutup kamera dan memastikan film negative itu terpasang dengan benar daripada mengalami kejadian seperti ini. Sebenarnya seingatku, saat itu bukan aku sendiri yang memasang roll film itu di kamera. Aku meminta tolong salah seorang kakak untuk memasangkannya. Tapi, bagaimanapun aku yang harus bertanggungjawab karena aku seksi dokumentasinya.

 

Sedih sekali rasanya. Kenangan ini tak pernah terlupakan hingga kini. Aku hanya bisa meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada teman-teman semuanya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SAHABAT MANTU

Salah satu rezeki yang patut disyukuri setiap hari adalah dipertemukannya kita dengan orang-orang baik dan sholeh. Bersahabat dengan teman-t...