Beberapa waktu yang lalu, Desa tempat tinggal saya mau mengadakan pemilihan kepala desa (Pilkades). Saya dan istri pun terdaftar sebagai pemilih. Beberapa hari sebelum pemilihan, panitia pemungutan suara (PPS) mengantar surat undangan untuk mencoblos. Saya tidak tahu siapa yang menerima undangan itu karena kebetulan saya tidak berada di rumah. Kata istri saya, anak-anak melihat lembar undangan itu saat diantarkan oleh panitia.
Hari pemilihan pun tiba. Saya dan
istri berangkat. Karena libur, anak-anak ingin ikut pula. Surat undangan
pun saya bawa.
“Aku
juga mau bawa undangan,” kata Syafiq (4 tahun), anak saya yang kedua.
“Nggak usah. Kamu nggak perlu bawa
undangan, Nak”.
Saya jelaskan kalau undangan itu
untuk orang dewasa saja yang mau memilih. Tapi ia tetap ngeyel harus membawa undangan. Ia menghalangi saya berangkat ke TPS
dan tidak mau melepaskan cengkeraman tangannya kalau tidak dibawakan kertas
undangan. Saya berpikir cepat. Saya ambil surat undangan PMOG (Pertemuan
Orangtua Murid dan Guru) yang sudah lewat dari PAUD tempat ia sekolah. Untungnya
format undangan dari PPS dengan PAUD hampir mirip, sama-sama hanya memakai
kertas A4 kuarto putih. Tadinya ia mau membawa surat undangan dari PPS
tadi.
Sampai di TPS,surat undangan saya
dan istri dibubuhi angka sesuai nomor urut dalam daftar pemilih tetap pilkades
oleh panitia. Nomor 113 dan 114.
Melihat
surat undangan saya dibubuhi nomor, Syafiq pun ingin suratnya dibubuhi nomor juga.
Awalnya panitia bingung. Ini surat mau ditulis apa. Salah seorang panitia
spontan nyeletuk,”Sudah, tulis angka
nol saja!”. Panitia dan orang-orang yang berdiri di dekat meja pendaftaran pun spontan
pada tertawa melihat kejadian itu. Saya dan istri hanya tersenyum. Tapi dalam
hati, saya merasa akan terjadi sesuatu.
Saya
sudah menduga Syafiq pasti marah. Betul saja, ia lalu berteriak,”Aku nggak mau
angka nol”. Ia menangis sesenggukan memeluk kaki saya. Bagi orang-orang dewasa mungkin
ini kejadian lucu tapi bagi dia ini adalah pelecehan atau penghinaan. Hatinya
terluka.
Dari peristiwa kecil itu, menyadarkan saya ternyata masih banyak orang
dewasa, mungkin juga kita para orangtua, yang
sering tanpa sadar telah melakukan penghinaan kepada anak-anak kecil. Bisa
dalam bentuk ucapan, bahasa tubuh sampai dengan tindakan seperti mentertawakan,
menghina, menyepelekan. Menganggap anak kecil tidak punya harga diri.
Seolah-olah anak kecil itu tak punya hati. Padahal, tanpa sadar sesungguhnya
apa yang orangtua lakukan itu telah melukai hati mereka dan membekas. Mungkin
akan diingat terus sampai usia dewasa. Na’udzu
billah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar