Selasa, 13 Oktober 2020

UNDANGAN PILKADES

       Beberapa waktu yang lalu, Desa tempat tinggal saya mau mengadakan pemilihan kepala desa (Pilkades). Saya dan istri pun terdaftar sebagai pemilih. Beberapa hari sebelum pemilihan, panitia pemungutan suara (PPS) mengantar surat undangan untuk mencoblos. Saya tidak tahu siapa yang menerima undangan itu karena kebetulan saya tidak berada di rumah. Kata istri saya, anak-anak melihat lembar undangan itu saat diantarkan oleh panitia.

      Hari pemilihan pun tiba. Saya dan istri berangkat. Karena libur, anak-anak ingin ikut pula. Surat undangan pun saya bawa.

      “Aku juga mau bawa undangan,” kata Syafiq (4 tahun), anak saya yang kedua.
      “Nggak usah. Kamu nggak perlu bawa undangan, Nak”.
      Saya jelaskan kalau undangan itu untuk orang dewasa saja yang mau memilih. Tapi ia tetap ngeyel harus membawa undangan. Ia menghalangi saya berangkat ke TPS dan tidak mau melepaskan cengkeraman tangannya kalau tidak dibawakan kertas undangan. Saya berpikir cepat. Saya ambil surat undangan PMOG (Pertemuan Orangtua Murid dan Guru) yang sudah lewat dari PAUD tempat ia sekolah. Untungnya format undangan dari PPS dengan PAUD hampir mirip, sama-sama hanya memakai kertas A4 kuarto putih. Tadinya ia mau membawa surat undangan dari PPS tadi. 
      Sampai di TPS,surat undangan saya dan istri dibubuhi angka sesuai nomor urut dalam daftar pemilih tetap pilkades oleh panitia. Nomor 113 dan 114.

      Melihat surat undangan saya dibubuhi nomor, Syafiq pun ingin suratnya dibubuhi nomor juga. Awalnya panitia bingung. Ini surat mau ditulis apa. Salah seorang panitia spontan nyeletuk,”Sudah, tulis angka nol saja!”. Panitia dan orang-orang yang berdiri di dekat meja pendaftaran pun spontan pada tertawa melihat kejadian itu. Saya dan istri hanya tersenyum. Tapi dalam hati, saya merasa akan terjadi sesuatu.  

      Saya sudah menduga Syafiq pasti marah. Betul saja, ia lalu berteriak,”Aku nggak mau angka nol”. Ia menangis sesenggukan memeluk kaki saya. Bagi orang-orang dewasa mungkin ini kejadian lucu tapi bagi dia ini adalah pelecehan atau penghinaan. Hatinya terluka.

      Dari peristiwa kecil itu, menyadarkan saya ternyata masih banyak orang dewasa, mungkin juga kita para orangtua, yang  sering tanpa sadar telah melakukan penghinaan kepada anak-anak kecil. Bisa dalam bentuk ucapan, bahasa tubuh sampai dengan tindakan seperti mentertawakan, menghina, menyepelekan. Menganggap anak kecil tidak punya harga diri. Seolah-olah anak kecil itu tak punya hati. Padahal, tanpa sadar sesungguhnya apa yang orangtua lakukan itu telah melukai hati mereka dan membekas. Mungkin akan diingat terus sampai usia dewasa. Na’udzu billah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SAHABAT MANTU

Salah satu rezeki yang patut disyukuri setiap hari adalah dipertemukannya kita dengan orang-orang baik dan sholeh. Bersahabat dengan teman-t...