Ini sepenggal kisah dalam satu grup WhatsApp (WA) sebuah komunitas.
Lumrahnya
sebuah grup WA, setiap hari berbagai macam hal diposting. Ada tulisan ilmiah,
nasehat, taushiyah, cerita lucu, foto kejadian sehari-hari, video, meme, sticker,
ayat-ayat Al Qur'an, hadis Nabi dan lain-lain. Sesekali ada yang posting
iklan/promosi produk.
Sebagian
besar postingan itu sering hanya copy paste atau forward dari postingan orang
lain atau grup lain. Jarang yang berasal dari karya orisinal anggota grup.
Sering asal copy paste dan share begitu saja tanpa menyebutkan sumber berita
dan tidak dikroscek dulu kebenarannya.
Nah, saya
punya pengalaman cukup menarik.
Suatu ketika,
ada seorang anggota grup yang memposting foto-foto warna-warni sebuah produk.
Tampaknya hasil screenshot.
Dugaan
saya, foto-foto itu berasal dari grup lain. Bukan dari karyanya. Dia nge-share
foto itu mungkin karena menurutnya informasi yang terdapat dalam foto itu
penting diketahui oleh anggota grup lain.
Masalahnya,
foto itu sangat provokatif. Isinya adalah tuduhan bahwa beberapa produk
makanan/minuman dengan merk tertentu mengandung DNA atau lemak babi beserta
ajakan untuk tidak mengkonsumsinya.
Lalu saya
mengomentarinya. Tepatnya, saya menanyakan kebenaran isi foto-foto tersebut
dengan menyebut nama orang yang memposting foto tersebut. Sudahkah dikroscek
dulu ke pihak-pihak yang kira-kira relevan dengan tuduhan itu. Saya menunjuk LP
POM/BPPOM MUI.
Menurut
saya, foto-foto yang diposting itu kemungkinan besar hoax. Maka semestinya
tidak perlu dishare di grup itu. Saya katakan agar sebaiknya sebelum dishare
supaya dikroscek dulu kebenarannya. Niat saya, untuk saling mengingatkan kepada
semua anggota grup karena tujuan grup ini adalah untuk hal-hal yang baik dan bermanfaat.
Maka semua info yang dishare semestinya valid, tidak bohong dan ada sumbernya
yang jelas.
Ternyata
pikiran saya berbeda dengan dia. Dia merasa tidak perlu kroscek kebenaran foto
itu. Mau share ya share saja, tidak usah pusing-pusing memikirkan isinya,
sumbernya dari mana. Itu tidak penting. “Slow down”, katanya. “Santai
saja. Tidak usah serius-serius amat. Kalau kira-kira tidak benar ya abaikan
saja. Gitu saja kok repot”, lanjutnya.
Tidak saya
sangka, ternyata dia marah dan tersinggung karena saya sudah menyebut namanya
di komentar saya.
Ini
menurut saya sebenarnya lucu. Dia yang memposting foto lalu saya komentari dan
saya sebut namanya tapi dia tersinggung. Aneh.
Mau tidak
mau saya jadi kepikiran juga.
Apakah
saya salah telah menyebut namanya di komentar saya itu?
Apakah
wajar dia tersinggung karena saya sudah menyebut namanya di komentar saya?
Atau apakah
sebaiknya saya diam saja, tidak perlu mengomentari postingannya, cuek sajalah
meski saya tahu postingan seperti itu kemungkinan besar hoax?
Mari
berpikir dengan kepala dingin.
***
Ahad, 4
Februari 2018 di sebuah masjid di Jogjakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar